Di tempat terluas tanpa batas, di tempat kecil tanpa awal.
Sedikit lagi semester ini habis, satu pokok bahasan kuliah lagi mengantar saya ke dalam damai natal saat libur. Semester ini lewat dengan baik, tak seperti flash kamera yang cepat, tak seperti flash langit sebelum guntur, berjalan lambat dengan pasti dan mulus. Tidak ada hambatan berarti di semester ini, semoga terus begitu sampai natal nanti.
Aku berharap dibuka dengan paragraf yang lucu. Yang ngambang malah kalimat aneh. Tapi ndak papa, apa lagi ndak mama.
“Penyakit ini sudah jarang ditemukan di kota-kota besar. Paling banyak di daerah yang masih tertinggal, di TIMUR Indonesia”, dosenku saat mengajar di jam ngantuk.
“Penyakit ini tak ada di Surabaya. Tapi jika kalian ke NTT, akan banyak ditemukan”, dosenku yang lain berteriak seperti Bung Karno, saya seperti Bung Kusan kue.
“Penyakit ini menyerang orang-orang yang masih tertinggal dalam segi pendidikan, ekonomi, dan sosial”. Rasanya teman-teman tahu itu di mana. Ia, itu di FLORES.
Separah itukah tempatku? Tentu harapan yang besar dipikul dokter-dokter penyakitan, eh salah, dokter di tempat yang penyakitan.
Di lain kesempatan, ada seorang siswa bertanya pada Profesor dan Guru Besar Anatomi.
“Prof, mengapa tulang jari pada janin semerta-merta terbentuk dengan posisi yang sangat beraturan? Mengapa tulang-tulang itu terbentuk di situ?”
Saya mendengarnya lagu tertawa dalam hati, walaupun saya tak mengerti cara tertawa dalam hati saya tetap melakukannya sambil bergumam pada entah siapa, tampaknya Tuhan.
“Are you kidding me? God, You make fun with my profesor”.
Reaksi profesorku adalah : tertawa dan senyum manis. Membalikan badan lalu lanjut ke topik berikutnya.
“Did You see? You make my profesor look as a fool”. Ooh, Please.
Temanku sekalian, maafkan saya terlalu bergaya berbahasa inggris. Terbawa suasana, saya sering nonton film akhir-akhir ini.
Saya berharap lebih dari reaksi sang profesor. Tapi saya mengerti penjelasan dari pertanyaan itu bukanlah yang bisa dijawab oleh Profesor. Coba kita tanyakan pada Romo, Haji, Pendeta, atau mama. Mereka punya jawabannya. Ia, menurutku jawaban ini akan menjurus pada Tuhan. Mengapa seperti itu? Nanti kita bahas.
Matahari atau bumi yang menjadi pusat tata surya? Ini menjadi trending topic di masa Galileo Galilei. Jika pertanyaan itu diberikan di kelasku, dengan pasti saya menyatakan bahwa tidak ada yang tertarik sama sekali dengan topik ini. Terserah, voting aja (:D), terserah siapa yang mau jadi pusat, yang penting pusatku (udel) masih ada di tempatnya. Begitu jika di kelasku.
Pertanyaan tadi gampang sekali dijawab. Tapi pertanyaan lanjutan yang penuh kengerian dewa api dan segala dewa di dunia menunggu. Mengapa? Simpel, mudah dipahami. Ayo dijawab. Seisi bumi rasanya hening. (Jika ada yang masih menjawab walaupun ngawur, pukul dia dengan mengapa sekali lagi. Jika masih ada, pukul dia dengan tanganmu).
Tapi serius-ly, pertanyaan itu tak bisa dijawab oleh Profesor. Ayo buka Alkitabmu, dan temukan jawabannya.
Mengapa? Mengapa seperti itu, karena manusia sekarang sombong. Termasuk saya. Ya benar, termasuk saya. Sekarang manusia melihat semua yang terjadi adalah karena manusia sendiri. Sombong karena menganggap semua yang terjadi adalah bukan hasil karyanya. Begitu ditanya, kok kamu bisa sampai di sini? Jawabannya adalah Tuhan membawaku di sini, dengan bantuan mobil. Bukan sebaliknya, mobil membawaku dengan bantuan Tuhan. Tuhan selalu dinomor duakan. Mengapa kamu bisa sembuh dari kanker? Jawabannya adalah karena Tuhan memberi mukjizat dengan bantuan dokter itu. Bukan sebaliknya, dokter menyelamatkanku dengan bantuan Tuhan.
Kamu lihat persamaannya? Selalu ada yang nomor satu, selalu ada yang menjadi topeng di muka Tuhan. Kita yang memakaikan topeng itu, karena kita sudah cukup sombong dengan adanya dokter dan mobil. Lalu, ankward moment with God saat kamu tak punya topeng yang cukup untuk menomor duakan Tuhan.
Lihat lagi pertanya teman kelasku : “Mengapa tulang pada janin terbentuk dengan baik seperti itu?” dan pertanyaan setelahnya : “Mengapa matahari menjadi pusat tata surya?”. Ayo sama-sama kita mencari pembeneran. Coba kita cari jawaban selain melimpahkannya ke Tuhan. 1 menit. … … … … Oke, nambah lagi 1 menit.
Yah, aku sih menyerah aja sih. Saya tak bisa menjawab pertanyaan ini.
Kita akhirnya menemukan Tuhan di tempat terluas tanpa batas dan di tempat terkecil tanpa mula. Yah, hanya di situ tempat yang kita (manusia sekarang) bisa temukan. Bukankah Tuhan ada dimana-mana? Seperti pertanyaanku dulu, “Ma, Tuhan itu banyak yah? Kok bisa ada di mana-mana?”. Bukankah Tuhan punya banyak peran dalam hidupmu?
Jangan mengecilkan Tuhan dengan menyadari Tuhan ada saat kamu tak bisa menjawab pertanyaan, jika itu maksudmu, kamu bukan mencari Tuhan, kamu mencari Google. Bahkan tentang yang kamu tahu itu adalah Tuhan itu sendiri. Menggelikan bila orang berteriak memanggil Tuhan saat tak bisa menjawab pertanyaan, selama ini? Tuhan tak ada? Kamu yang mengubur Tuhanmu sendiri.
Tulisan ini lahir karena saya ingin menjawab pertanyaan di manakah Tuhanmu? Dengan jawabanku di atas, itu belum melegakan dahagaku atas pertanyaanku itu. Kasihan diriku, malangnya diriku. Tulisan ini juga menjawab soal saat kita tak bisa menjawab apakah Tuhan itu ada apa tidak?
DIA ADA DILUAR KEMAMPUAN MANUSIA UNTUK BERPIKIR.
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar